Minggu, 28 April 2013

Tokoh-tokoh Hermeneutika


F.D.E. Schleiermacher (1768 – 1834)

Schleiermacher membedakan hermeneutik dalam pengertian ilmu atau seni memahami dengan hermeneutik yang didefinisikan sebagai studi tentang memahami. Ia menulis:Semenjak seni berbicara dan seni memahami berhubungan satu sama lain, maka berbicara merupakan sisi luar dari berpikir, hermeneutik adalah bagian dari seni berpikir itu dan oleh karenanya bersifat filosofis (Schleiermacher, 1917:97) Menurut Schleiermacher berbicara itu berkembang seiring dengan buah pikiran. Menurutnya ada jurang pemisah antara berbicara atau berpikir yang sifatnya internal dengan ucapan yang aktual. Pemahaman hanya terdapat di dalam kedua momen yang saling bertautan satu sama lain yaitu apa yang dikatakan konteks bahasa dan apa yang dipikirkan oleh pembicaranya.Schleiermacher dalam uraiannya banyak dipengaruhi oleh Freidrich Ast dan Freidrich August Wolf. Menurut Ast tugas hermeneutik adalah membawa keluar makna internal dari suatu teks beserta siatinya menurut jamannya.Ia membagi tugas itu dalam tiga bagian, sejarah, tata bahasa dan aspek kerohaniannya (geistige). Korespondensi ketiga bagian tersebut merupakan tiga taraf penjelasan yaitu:
•Hermeneutik atas huruf (Hermeneutik des Buchstabens) atau bahan baku teks
•Hermeneutik atas makna (hermeneutik des Sinnes) atau bentuk teks
•Hermeneutik atas aspek kejiwaan (Hermeneutik des Geistes) atau jiwa teks
F.A. Wolf mendefiniskan hermeneutik sebagai seni menemukan makna sebuah teks. Menurutnya ada tiga jenis hermeneutik atau interpetrasi yaitu Interpretasi gramatikal, Interpretasi historis, dan Interpretasi Retorik.
Perbedaan antara Ast dan Wolf adalah, Wolf membahas tata bahasa, hermeneutik dan kritik sebagai studi persiapan filologi sementara Ast menganggap ketiga disiplin ilmu tersebut hanya lampiran (appendiks) bagi filologi. Menurut Shleiermacher sendiri ada dua tugas hermeneutik yang identik satu sama lain, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. 
Kompetensi linguistik dan kemampuan mengetahui sesorang sangat menentukan keberhasilan sebuah interpretasi.Karena dua hal tersebut sangat sulit mengingat, Schleiermacher mempunyai sebuah rumusan positif dalam bidang seni interpretasi yaitu rekonstruksi hitoris, obyektif dan subyektif terhadap sebuah pernyataan.


Wilhelm Dilthey (1833 – 1911)
Dilthey adalah seorang filsuf Jerman. Ia terkenal dengan riset historisnya dalam bidang hermeneutik. Ia berambisi menyusun dasar epistemologis baru bagi pertimbangan sejarah tentang pemahaman yang memandang dunia sebagai wajah interior dan eksterior. 
Ia sangat tertarik pada karya-karya Schleiermacher dan kehidupan intelektualnya, terutama pada kemampuan intelektualnya dalam menggabungkan teologi dan kesusastraan dengan karya-karya kefilsafatan, serta kagum pada karya terjemahaan dan interpretasinya atas dialog Plato.
Dithey seakan-akan ‘mematri’ sejarah dan filsafat menjadi satu maksud untuk mengembangkan suatu pandangan filosofis yang komprehensif dan tidak terjaring oleh dogma metafisika dan tidak ‘diredupkan’ oleh prasangka. (Dilthey, 1962: Pattern and meaning in history)
Ia berambisi untuk menyusun sebuah dasar epitemologis baru bagi pertimbangan sejarah, gagasan tentang komprehensi atau pemahaman yang memandang dunia dalam dua wajah, interior (wajah dalam) dan eksterior (wajah luar). Mirip dengan dualisme Descrates tentang badan dan jiwa, yaitu spiritualisme sebagai bagian interior dan realisme sebagai bagian eksterior.
Secara eksterior, suatu peristiwa mempunyai tanggal dan tempat khusus atau tertentu; secara interior, peristiwa itu dilihat atas dasar kesadaran atau keadaan sadar. Kedua dimensi ini tidak bernilai sama, bahkan dapat dikatakan dalam keadaan saling tergantung.
Kesulitan yang dihadapi Dilthey adalah bagaimana menempatkan penyelidikan sejarah sejajar dengan penelitian ilmiah.


Hans-Georg Gadamer
Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg tahun 1900.ia belajar filsafat di universitas di kotanya a.l pada Nikolai Hartman, Martin Heidegger dan Rudolf Bultmann (teolog protestan). Karier filsafat Gadamer mencapai puncak pada 1960, saat ia menjelang pensiun, melalui bukunya ‘Kebenaran dan Metode’ (Wahrheit und Methode) – sebuah dukungan berarti bagi karya Heidegger ‘Sein und Zeit’ (Being and Time).
Memahami karya-karya Gadamer bukanlah hal yang mudah, sumber kompleksitas ini antara lain karena, pertama, filsafat hermeneutik Gadamer menurut faktanya juga didasarkan pada pemikiran hermeneutik.Argumennya sangat mengandalkan analisis kritisnya tetnang bahasa, kesadaran historis serta pengalaman estetika.Dalam Philosophische Lehrjahre analisis Gadamer tentang kebenaran menunjukkan adanya perpaduan cakrawala gagasan antara Kant, Dilthey, Aquinas dan dirinya.Kedua, dalam Truth and Method menampilkan kesatuan gagasan tanpa garis batas dan ketertutupan tanpa penjabaran.
Gadamer dalam bukunya ‘Kebenaran dan Metode’ lebih menekankan pada pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis.Ia ingin mencapai kebenaran bukan melalui metode melainkan melalui dialektika. Dalam buku ini, ia mengungkapkan konsep yang menarik tentang ‘permainan’. Subjek permainan yang sebenarnya bukanlah para pemainnya, namun permainan itu sendiri (Gadamer, 1986:92).
Gadamer menolak konsep hermeneutik sebagai metode karena ia beranggapan bahwa metode tidak dapat menjamin kebenaran. Menurut Gadamer, logika sendiri sudah tidak berdaya dan tidak mampu menjadi sarana untuk mencapai kebenaran filosofis.
Gadamer juga menaruh perhatian pada bidang seni dengan alasan dalam seni kita mengalami suatu kebenaran, namun bukan kebenaran yang melalui penalaran melainkan kebenaran yang menurut faktanya ‘menentang semua jenis penalaran’.Gadamer mengutip pendapat Kant bahwa ‘seni murni adalah seni para genius’ dan kebenarannya tidak dapat dicapai dengan metode ilmiah.
Gadamer membahas empat konsep tentang manusia yang memperkaya hermeneutik, yaitu:
Bildung (kultur/kebudayaan, formatio-Latin) – konsep yang meliputi seni, sejarah, Weltanschauung, pengalaman, ketajaman pikiran, dunia eksternal dll, yang semuanya kita mengerti sebagai istilah-istilah dalam sejarah. Sebuah kumpulan kenangan, pembentukan jalan pikiran;
Sensus Communis – pertimbangan praktis yang baik (le bon sens-Perancis), ini diperlukan dengan maksud untuk memahami arus yang mendasari pola sikap manusia;
Pertimbangan – sifatnya universal, namun bukan berarti berlaku umum, yaitu kemampuan untuk memahami hal-hal khusus sebagai contoh yang universal, dan kemampuan ini akan melibatkan perasaan, konsep, prinsip, dan hukum-hukum yang dapat diolah manusia;
Taste atau selera – sama dengan rasa, yaitu dalam pengoperasiannya tidak memakau pengetahuan akali. Fenomena selera adalah kemampuan intelektual untuk membuat diferensiasi atau perbedaan, tetapi kemampuan ini tidak dapat didemonstrasikan.
Gadamer berpendapat bahwa hermenutik adalah seni bukan proses mekanis. Pemahaman dan hermenutik hanya dapat diberlakukan sebagai suatu karya seni.Ia mengatakan bahwa interpretasi adalah penciptaan kembali. Penafsir selalu memahami realitas dan manusia dengan titik tolak sekarang atau kontemporer.
Refleksi hermeneutik menjadi penting bila kita berhubungan dengan manusia yang pengalamannya tidak selalu dapat digolong-golongkan maupun dipelajari secara artifisial. 


Jurgen Habermas
Selain tekun dalam filsafat, Habermas yang lahir di Gummersbach 1929, juga menekuni bidang politik dan banyak berpartisipasi dalam diskusi tentang ‘persenjataan kembali’ (reamament) di Jerman.
Meski gagasan Habermas tidak berpusat pada hermeneutik namun gagasan-gagasannya banyak mendukung pustaka hermeneutik.Gagasan hermeneutiknya dapat ditemukan dalam tulisannya ‘Knowledge and Human Interest’.
Menurut Habermas, penjelasan ‘menuntut penerapan proporsi-proporsi teoritis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis’ (Habermas, 1972:144). Sedangkan pemahaman adalah ‘suatu kegiatan dimana pengalaman dan pengertian teoritis berpadu menjadi satu’.
Habermas mengikuti tiga bentuk penyimpulan yang dikemukakan oleh C.S. Peirce yaitu deduksi, induksi dan abduksi (proses pembentukan hipotesis yang bersifat eksplanatoris).
Habermas menyatakan bahwa selalu ada makna yang bersifat lebih, yang tidaka dapat dijangkau interpretasi, yaitu yang terdapat di dalam hal-hal yang bersifat ‘tidak teranalisiskan’. ‘tidak dapat dijabarkan’, bahkan diluar pikiran kita. Ia lebih lanjut menyatakan bahwa sebuah penjelasan menuntut penerapan proposisi-proposisi teoritis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis. Penjelasan haruslah berupa penerapan secara objektif sesuatu hukum atau teori terhadap fakta, dan pemahaman menjadi subjektifnya.
Pemahaman hermenutik lebih diarahkan pada konteks tradisional tentang makna. Habermas membicarakan tentang ‘pemahaman monologis tentang makna’, yaitu pemahaman yang tidak melibatkan hubungan-hubungan faktual tetapi mencakup bahasa-bahasa ‘murni’, seperti misalnya bahasa simbol. 
Pemahaman herneutik melibatkan tiga kelas ekspresi kehidupan yaitu lingusitik, tindakan dan pengalaman.
Dalam hermeneutik, penafsir mengalami dilema antara tetap objektif dan bersifat subjektif atau antara tetap subjektif dan harus menjadi objektif.Dilema ini merupakan pertanyaan ‘eksklusif linguistik atau analisis empiris’.

Paul Ricoeur 
Ricoeur yang berlatar belakang pandangan Katholik, memiliki prespektif kefilsafatan yang beralih dari analisis eksistensial ke analisis eidetik (pengamatan yang sedemikian mendetil), fenomenologis, historis, hermeneutik hingga pada akhirnya semantik.
Ia mengatakan bahwa pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalaha interpretasi terhadap interpretasi, seperti yang dikutip dari Nietzsche, ia menyatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi (Ricoeur, 1974:12)
Bilamana ada pluralitas makna, maka dibutuhkan sebuah interpretasi, demikian pula jika simbol-simbol mulai dilibatkan. Setiap interpreatsi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung.
Menurut Riceour, setiap kata merupakan sebuah simbol yang penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Jadi tidaklah heran jika menurut Riceour tujuan hermeneutik adalah menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut (Montifiore, 1983:192)
Salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutik adalah ‘perjuangan melawan distansi kultural’, yaitu penafsir harus mengambil jarak supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik.
Jika pembahasan interpretasi hanya terbatas pada simbol-simbol maka ini menjadi terlalu sempit, Riceour kemudian memperluas definisi tersebut dengan menambahkan ‘perhatian kepada teks’.Teks sebagai penghubung bahasa isyarata dan simbol-simbol dapat membatasi ruang lingkup hermeneutik karena budaya oral dapat dipersempit.
Tugas utama hermeneutik di satu pihak adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam suatu teks, dan di lain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri keluar.
Definisi pasti tentang hermeneutik menurut Ricoeur adalah teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks (Ricoeur, 1985:43).
Baginya manusia pada dasarnya adalah bahasa dan bahas itu sendiri merupakan syarat utama bagi semua pengalaman manusia.
Penjelasan struktural suatu teks cenderung bersifat obyektif, sedangkan penjelasan hermeneutik memberi kita kesan subyektif, di sinilah didapati dikotomi antara obyektifitas dan subyektifitas yang menimbulkan problem.Dikotomi antara ‘penjelasan’ dan ‘pemahaman’ sangat tajam, yaitu untuk memahami sebauh percakapan kita harus kembali pada struktur permulaannya. Kebenaran dan metode dapat menimbulkan proses dialektis.
Otonomi teks ada tiga macam: intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks, dan untuk siapa teksi tu dimaksudkan.
Menurut Ricoeur ada tiga langkah pemahaman, yaitu yang berlangsung dari penghayatan atas simbol-simbol ke gagasan tentang ‘berpikir dari’ simbol-simbol.Langkah pertama adalah langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol, langkah kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna, langkah ketiga adalah langkah yang benar-benar filosofis yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.
Pemahaman yang pada dasarnya adalah ‘cara berada’ (mode of being) atau ‘cara menjadi’ hanya bisa terjadi pada tingkat pengetahuan yaitu pada teori tentang pengetahuan atau Erkenntnistheorie.
Ada empat tema yang diketengahkan oleh Ricoeur, tema pertama adalah tidak ada titik nol saat kritik tuntas dapat mulai dilakukan.Tema kedua adalah tidak ada pandangan umum menyeluruh yang memberi kita kemungkinan untuk memahami totalitas akibat sejarah hanya dalam waktu sekejap saja. Tema ketiga adalah jika tidak ada pandangan ang menyeluruh, maka tidak akan ada situasi yang secara mutlak membatasi kita. Tema keempat adalah perpaduan antarcakrawala

0 komentar:

Posting Komentar