F.D.E. Schleiermacher (1768 – 1834)
Schleiermacher membedakan hermeneutik dalam pengertian ilmu atau seni memahami
dengan hermeneutik yang didefinisikan sebagai studi tentang memahami. Ia
menulis:Semenjak seni berbicara dan seni memahami berhubungan satu sama lain,
maka berbicara merupakan sisi luar dari berpikir, hermeneutik adalah bagian
dari seni berpikir itu dan oleh karenanya bersifat filosofis (Schleiermacher,
1917:97) Menurut Schleiermacher berbicara itu berkembang seiring dengan buah
pikiran. Menurutnya ada jurang pemisah antara berbicara atau berpikir yang
sifatnya internal dengan ucapan yang aktual. Pemahaman hanya terdapat di dalam
kedua momen yang saling bertautan satu sama lain yaitu apa yang dikatakan
konteks bahasa dan apa yang dipikirkan oleh pembicaranya.Schleiermacher dalam
uraiannya banyak dipengaruhi oleh Freidrich Ast dan Freidrich August Wolf.
Menurut Ast tugas hermeneutik adalah membawa keluar makna internal dari suatu
teks beserta siatinya menurut jamannya.Ia membagi tugas itu dalam tiga bagian,
sejarah, tata bahasa dan aspek kerohaniannya (geistige). Korespondensi ketiga
bagian tersebut merupakan tiga taraf penjelasan yaitu:
•Hermeneutik atas huruf (Hermeneutik des Buchstabens) atau bahan baku teks
•Hermeneutik atas makna (hermeneutik des Sinnes) atau bentuk teks
•Hermeneutik atas aspek kejiwaan (Hermeneutik des Geistes) atau jiwa teks
F.A. Wolf mendefiniskan hermeneutik sebagai seni menemukan makna sebuah teks.
Menurutnya ada tiga jenis hermeneutik atau interpetrasi yaitu Interpretasi
gramatikal, Interpretasi historis, dan Interpretasi Retorik.
Perbedaan antara Ast dan Wolf adalah, Wolf membahas tata bahasa, hermeneutik
dan kritik sebagai studi persiapan filologi sementara Ast menganggap ketiga
disiplin ilmu tersebut hanya lampiran (appendiks) bagi filologi. Menurut
Shleiermacher sendiri ada dua tugas hermeneutik yang identik satu sama lain,
yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis.
Kompetensi linguistik dan kemampuan mengetahui sesorang sangat menentukan
keberhasilan sebuah interpretasi.Karena dua hal tersebut sangat sulit
mengingat, Schleiermacher mempunyai sebuah rumusan positif dalam bidang seni
interpretasi yaitu rekonstruksi hitoris, obyektif dan subyektif terhadap sebuah
pernyataan.
Wilhelm Dilthey (1833 – 1911)
Dilthey adalah seorang filsuf Jerman. Ia terkenal dengan riset historisnya
dalam bidang hermeneutik. Ia berambisi menyusun dasar epistemologis baru bagi
pertimbangan sejarah tentang pemahaman yang memandang dunia sebagai wajah
interior dan eksterior.
Ia sangat tertarik pada karya-karya Schleiermacher dan kehidupan
intelektualnya, terutama pada kemampuan intelektualnya dalam menggabungkan
teologi dan kesusastraan dengan karya-karya kefilsafatan, serta kagum pada
karya terjemahaan dan interpretasinya atas dialog Plato.
Dithey seakan-akan ‘mematri’ sejarah dan filsafat menjadi satu maksud untuk
mengembangkan suatu pandangan filosofis yang komprehensif dan tidak terjaring
oleh dogma metafisika dan tidak ‘diredupkan’ oleh prasangka. (Dilthey, 1962:
Pattern and meaning in history)
Ia berambisi untuk menyusun sebuah dasar epitemologis baru bagi pertimbangan
sejarah, gagasan tentang komprehensi atau pemahaman yang memandang dunia dalam
dua wajah, interior (wajah dalam) dan eksterior (wajah luar). Mirip dengan
dualisme Descrates tentang badan dan jiwa, yaitu spiritualisme sebagai bagian
interior dan realisme sebagai bagian eksterior.
Secara eksterior, suatu peristiwa mempunyai tanggal dan tempat khusus atau
tertentu; secara interior, peristiwa itu dilihat atas dasar kesadaran atau
keadaan sadar. Kedua dimensi ini tidak bernilai sama, bahkan dapat dikatakan
dalam keadaan saling tergantung.
Kesulitan yang dihadapi Dilthey adalah bagaimana menempatkan penyelidikan
sejarah sejajar dengan penelitian ilmiah.
Hans-Georg Gadamer
Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg tahun 1900.ia belajar filsafat di
universitas di kotanya a.l pada Nikolai Hartman, Martin Heidegger dan Rudolf
Bultmann (teolog protestan). Karier filsafat Gadamer mencapai puncak pada 1960,
saat ia menjelang pensiun, melalui bukunya ‘Kebenaran dan Metode’ (Wahrheit und
Methode) – sebuah dukungan berarti bagi karya Heidegger ‘Sein und Zeit’ (Being
and Time).
Memahami karya-karya Gadamer bukanlah hal yang mudah, sumber kompleksitas ini
antara lain karena, pertama, filsafat hermeneutik Gadamer menurut faktanya juga
didasarkan pada pemikiran hermeneutik.Argumennya sangat mengandalkan analisis
kritisnya tetnang bahasa, kesadaran historis serta pengalaman estetika.Dalam
Philosophische Lehrjahre analisis Gadamer tentang kebenaran menunjukkan adanya
perpaduan cakrawala gagasan antara Kant, Dilthey, Aquinas dan dirinya.Kedua,
dalam Truth and Method menampilkan kesatuan gagasan tanpa garis batas dan
ketertutupan tanpa penjabaran.
Gadamer dalam bukunya ‘Kebenaran dan Metode’ lebih menekankan pada pemahaman
yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis.Ia ingin mencapai
kebenaran bukan melalui metode melainkan melalui dialektika. Dalam buku ini, ia
mengungkapkan konsep yang menarik tentang ‘permainan’. Subjek permainan yang
sebenarnya bukanlah para pemainnya, namun permainan itu sendiri (Gadamer,
1986:92).
Gadamer menolak konsep hermeneutik sebagai metode karena ia beranggapan bahwa
metode tidak dapat menjamin kebenaran. Menurut Gadamer, logika sendiri sudah
tidak berdaya dan tidak mampu menjadi sarana untuk mencapai kebenaran filosofis.
Gadamer juga menaruh perhatian pada bidang seni dengan alasan dalam seni kita
mengalami suatu kebenaran, namun bukan kebenaran yang melalui penalaran
melainkan kebenaran yang menurut faktanya ‘menentang semua jenis
penalaran’.Gadamer mengutip pendapat Kant bahwa ‘seni murni adalah seni para
genius’ dan kebenarannya tidak dapat dicapai dengan metode ilmiah.
Gadamer membahas empat konsep tentang manusia yang memperkaya hermeneutik,
yaitu:
Bildung (kultur/kebudayaan, formatio-Latin) – konsep yang meliputi seni,
sejarah, Weltanschauung, pengalaman, ketajaman pikiran, dunia eksternal dll,
yang semuanya kita mengerti sebagai istilah-istilah dalam sejarah. Sebuah
kumpulan kenangan, pembentukan jalan pikiran;
Sensus Communis – pertimbangan praktis yang baik (le bon sens-Perancis), ini
diperlukan dengan maksud untuk memahami arus yang mendasari pola sikap manusia;
Pertimbangan – sifatnya universal, namun bukan berarti berlaku umum, yaitu
kemampuan untuk memahami hal-hal khusus sebagai contoh yang universal, dan kemampuan
ini akan melibatkan perasaan, konsep, prinsip, dan hukum-hukum yang dapat
diolah manusia;
Taste atau selera – sama dengan rasa, yaitu dalam pengoperasiannya tidak
memakau pengetahuan akali. Fenomena selera adalah kemampuan intelektual untuk
membuat diferensiasi atau perbedaan, tetapi kemampuan ini tidak dapat
didemonstrasikan.
Gadamer berpendapat bahwa hermenutik adalah seni bukan proses mekanis.
Pemahaman dan hermenutik hanya dapat diberlakukan sebagai suatu karya seni.Ia
mengatakan bahwa interpretasi adalah penciptaan kembali. Penafsir selalu
memahami realitas dan manusia dengan titik tolak sekarang atau kontemporer.
Refleksi hermeneutik menjadi penting bila kita berhubungan dengan manusia yang
pengalamannya tidak selalu dapat digolong-golongkan maupun dipelajari secara
artifisial.
Jurgen Habermas
Selain tekun dalam filsafat, Habermas yang lahir di Gummersbach 1929, juga
menekuni bidang politik dan banyak berpartisipasi dalam diskusi tentang
‘persenjataan kembali’ (reamament) di Jerman.
Meski gagasan Habermas tidak berpusat pada hermeneutik namun gagasan-gagasannya
banyak mendukung pustaka hermeneutik.Gagasan hermeneutiknya dapat ditemukan
dalam tulisannya ‘Knowledge and Human Interest’.
Menurut Habermas, penjelasan ‘menuntut penerapan proporsi-proporsi teoritis
terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui pengamatan sistematis’
(Habermas, 1972:144). Sedangkan pemahaman adalah ‘suatu kegiatan dimana
pengalaman dan pengertian teoritis berpadu menjadi satu’.
Habermas mengikuti tiga bentuk penyimpulan yang dikemukakan oleh C.S. Peirce
yaitu deduksi, induksi dan abduksi (proses pembentukan hipotesis yang bersifat
eksplanatoris).
Habermas menyatakan bahwa selalu ada makna yang bersifat lebih, yang tidaka
dapat dijangkau interpretasi, yaitu yang terdapat di dalam hal-hal yang
bersifat ‘tidak teranalisiskan’. ‘tidak dapat dijabarkan’, bahkan diluar
pikiran kita. Ia lebih lanjut menyatakan bahwa sebuah penjelasan menuntut
penerapan proposisi-proposisi teoritis terhadap fakta yang terbentuk secara
bebas melalui pengamatan sistematis. Penjelasan haruslah berupa penerapan
secara objektif sesuatu hukum atau teori terhadap fakta, dan pemahaman menjadi
subjektifnya.
Pemahaman hermenutik lebih diarahkan pada konteks tradisional tentang makna.
Habermas membicarakan tentang ‘pemahaman monologis tentang makna’, yaitu
pemahaman yang tidak melibatkan hubungan-hubungan faktual tetapi mencakup
bahasa-bahasa ‘murni’, seperti misalnya bahasa simbol.
Pemahaman herneutik melibatkan tiga kelas ekspresi kehidupan yaitu lingusitik,
tindakan dan pengalaman.
Dalam hermeneutik, penafsir mengalami dilema antara tetap objektif dan bersifat
subjektif atau antara tetap subjektif dan harus menjadi objektif.Dilema ini
merupakan pertanyaan ‘eksklusif linguistik atau analisis empiris’.
Paul Ricoeur
Ricoeur yang berlatar belakang pandangan Katholik, memiliki prespektif
kefilsafatan yang beralih dari analisis eksistensial ke analisis eidetik
(pengamatan yang sedemikian mendetil), fenomenologis, historis, hermeneutik
hingga pada akhirnya semantik.
Ia mengatakan bahwa pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalaha interpretasi
terhadap interpretasi, seperti yang dikutip dari Nietzsche, ia menyatakan bahwa
hidup itu sendiri adalah interpretasi (Ricoeur, 1974:12)
Bilamana ada pluralitas makna, maka dibutuhkan sebuah interpretasi, demikian
pula jika simbol-simbol mulai dilibatkan. Setiap interpreatsi adalah usaha
untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung.
Menurut Riceour, setiap kata merupakan sebuah simbol yang penuh dengan makna
dan intensi yang tersembunyi. Jadi tidaklah heran jika menurut Riceour tujuan hermeneutik
adalah menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara
membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam
simbol-simbol tersebut (Montifiore, 1983:192)
Salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutik adalah
‘perjuangan melawan distansi kultural’, yaitu penafsir harus mengambil jarak
supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik.
Jika pembahasan interpretasi hanya terbatas pada simbol-simbol maka ini menjadi
terlalu sempit, Riceour kemudian memperluas definisi tersebut dengan
menambahkan ‘perhatian kepada teks’.Teks sebagai penghubung bahasa isyarata dan
simbol-simbol dapat membatasi ruang lingkup hermeneutik karena budaya oral
dapat dipersempit.
Tugas utama hermeneutik di satu pihak adalah mencari dinamika internal yang
mengatur struktural kerja di dalam suatu teks, dan di lain pihak mencari daya
yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri keluar.
Definisi pasti tentang hermeneutik menurut Ricoeur adalah teori pengoperasian
pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks (Ricoeur,
1985:43).
Baginya manusia pada dasarnya adalah bahasa dan bahas itu sendiri merupakan
syarat utama bagi semua pengalaman manusia.
Penjelasan struktural suatu teks cenderung bersifat obyektif, sedangkan
penjelasan hermeneutik memberi kita kesan subyektif, di sinilah didapati
dikotomi antara obyektifitas dan subyektifitas yang menimbulkan
problem.Dikotomi antara ‘penjelasan’ dan ‘pemahaman’ sangat tajam, yaitu untuk
memahami sebauh percakapan kita harus kembali pada struktur permulaannya.
Kebenaran dan metode dapat menimbulkan proses dialektis.
Otonomi teks ada tiga macam: intensi atau maksud pengarang, situasi kultural
dan kondisi sosial pengadaan teks, dan untuk siapa teksi tu dimaksudkan.
Menurut Ricoeur ada tiga langkah pemahaman, yaitu yang berlangsung dari
penghayatan atas simbol-simbol ke gagasan tentang ‘berpikir dari’
simbol-simbol.Langkah pertama adalah langkah simbolik atau pemahaman dari
simbol ke simbol, langkah kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta
penggalian yang cermat atas makna, langkah ketiga adalah langkah yang
benar-benar filosofis yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik
tolaknya.
Pemahaman yang pada dasarnya adalah ‘cara berada’ (mode of being) atau ‘cara
menjadi’ hanya bisa terjadi pada tingkat pengetahuan yaitu pada teori tentang
pengetahuan atau Erkenntnistheorie.
Ada empat tema yang diketengahkan oleh Ricoeur, tema pertama adalah tidak ada
titik nol saat kritik tuntas dapat mulai dilakukan.Tema kedua adalah tidak ada
pandangan umum menyeluruh yang memberi kita kemungkinan untuk memahami
totalitas akibat sejarah hanya dalam waktu sekejap saja. Tema ketiga adalah
jika tidak ada pandangan ang menyeluruh, maka tidak akan ada situasi yang secara
mutlak membatasi kita. Tema keempat adalah perpaduan antarcakrawala
0 komentar:
Posting Komentar